Daftar Blog Saya

Kamis, 31 Maret 2011

Kedudukan dan Peranan Wanita Sebelum Islam dan Sesudah Islam
Dipetik dari: Che Zarrina Sa’ari dan Joni Tamkin Borhan (2006), Peranan Wanita Dalam Pengukuhan Akidah Umat Islam, Jurnal Usuluddin bil 23-24.Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya, h. 36-40.
Sebelum Islam, wanita pernah dianggap sebagai hamba, harta peribadi dan dikatakan mempunyai sifat-sifat lebih rendah dari lelaki. Kedudukan wanita tidak terbela dan tidak diberi hak sewajarnya serta nilai dan maruah wanita dianggap rendah. Menurut Joachim Herrman dan Erik Zurcher (1996) dalam bukunya History of Humanity Scientific and Cultural Development, undang-undang Greek ketika itu, tidak memberi sebarang keistimewaan kepada wanita. Wanita dikurung dalam rumah, tidak diberi peluang belajar, kerana menganggap wanita hanya layak menguruskan rumah tangga sahaja. Wanita juga boleh dijual beli di pasar seperti binatang dan barang dagangan, mereka tiada hak untuk membantah, kecuali diberikan makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Kaum wanita pada zaman Yunani pula dipandang sebagai makhluk yang rendah, hina dan tidak berharga, dan dijadikan pemuas nafsu lelaki. Masyarakat Yunani juga menganggap wanita sebagai komoditi dagangan yang tidak berhak mendapat harta pusaka dan pendidikan. Abu al-A’la al-Maududi dalam bukunya al-Hijab menyatakan, masyarakat Yunani menganggap wanita sebagai sumber maksiat, sumber keburukan dan kejahatan. Bagi pihak lelaki masyarakat Yunani, wanita dianggap sebagai salah satu pintu neraka kerana wanitalah yang menggerakkan lelaki melakukan dosa dan menjadi penyebab manusia menerima musibah. Masyarakat ini berpandangan wanita sepatutnya menyesal dan malu kerana dilahirkan sebagai wanita dan wanita berparas cantik sepatutnya malu dengan kecantikkannya kerana ia merupakan senjata iblis.Wanita harus menebus dosa selama hidupnya kerana mendatangkan bencana dan kesengsaraan manusia di muka bumi.
Thomas F.X Noble et. al (1994) dalam bukunya Western Civilisation The Continuing Experiment menyatakan, pada zaman tamadun Romawi, kaum wanita ketika remaja dikongkong di bawah penguasaan penjaganya, samada bapa, datuk dan sebagainya yang berkuasa mutlak dan tidak dihadkan kekuasaanya. Penjaga boleh menghalau wanita keluar dari rumah atau menjualnya dan tiada pembelaan undang-undang ke atas golongan wanita ini. Apabila wanita berkahwin, maka putuslah hubungan keluarga dan kaum kerabatnya dan suaminya pula berhak menentukan corak kehidupan wanita. Menurut The New Encyclopedia Britannica (1992), pada zaman Mesir kuno pula gadis-gadis sentiasa jadi korban kerana ketika itu masyarakat mempunyai keyakinan bahawa sungai Nil dikuasai oleh dewa yang sentiasa inginkan persembahan seorang gadis. Jika tiada korban gadis, sungai Nil tidak akan memberi manfaat atau faedahnya kepada petani-petani Mesir. Berbanding tamadun lain, masyarakat Mesir ketika itu dikatakan lebih baik kerana memberi sedikit penghormatan kepada wanita dalam hak memilik harta, bekerja dalam kebanyakan sektor ekonomi, melibatkan diri dalam masyarakat dan bercampur dengan lelaki.
Pada zaman Jahiliyah Arab sebelum kedatangan Islam, wanita juga dianggap hina. Suami bagi wanita yang hamil anak perempuan akan terlebih dahulu membuat persediaan menggali lubang untuk menguburkan anak perempuan mereka hidup-hidup untuk mengelakkan mendapat malu dan menanggung bebanan hidup dan kemiskinan di kemudian hari. Amalan membunuh anak perempuan hidup-hidup bagi Arab Jahiliyah adalah suatu kebaikan dan anak lelaki adalah satu kebanggaan dan kegembiraan.
Kedatangan Islam telah merubah segala penghinaan, penindasan dan kezaliman yang dilakukan kepada kaum wanita. Islam telah mengangkat martabat wanita, mengembalikan kedudukannya, dimuliakan, dikembalikan haknya yang telah dirampas dan diiktiraf oleh lelaki dalam kehidupan. Wanita juga diberikan kedudukan yang sama sebagai individu dalam masyarakat. Menurut Islam yang membezakan manusia bukan lelaki atau wanita, tetapi ketakwaan kepada Allah Taala adalah pengukurnya seperti firman Allah:
” Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal” - Surah al-Hujurat, 49:13
Menurut Zeeneth Kausar (1995) dalam kertas kerja Women’s Issues: Women’s Perspectives, Islam meletakkan wanita dalam tiga kategori penting mengikut keupayaannya iaitu sebagai ibu, isteri dan anak perempuan. Ibu diletakkan di tempat paling tinggi selepas Allah dan RasulNya. Bagi wanita Islam yang berkahwin, mereka mempunyai hak-hak tersendiri sepanjang perkahwinannya sama seperti lelaki serta masing-masing mempunyai tanggungjawab dan peranan terhadap keluarga (ibu, isteri, anak permepuan) dan masyarakat (guru, pengasuh, pemimpin , penasihat, perawat dan lain-lain dalam semua sektor). Sebagai seorang Islam, wanita perlu mempunyai penghayatan Islam yang jelas dan keimanan yang kukuh supaya dapat dimanifestasikan keimanan dan jiwa Islam itu dalam ibadah, akhlak, pergaulan, pekerjaan dan segala aktiviti dalam kehidupannya. Ini penting supaya wanita tetap menjaga maruah dan kehormatan dirinya dari kaca mata Islam seperti sentiasa menjaga aurat, menjaga tutur kata dalam pergaulan, menjauhkan segala yang mendekatkan diri wanita kepada zina, bersikap positif dan berdaya saing sesuai dengan kesucian dan kemuliaan agama Islam.

Senin, 07 Maret 2011

Jilbab, Lambang Kebebasan Hakiki

Oleh redaksi



Hari gini jilbab masih saja digugat. Beberapa negara di dunia, masih memberlakukan larangan jilbab. Seperti di Turki, Jerman, Perancis, Italia, dll. Katanya negara liberal yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, tapi muslimahnya tidak dibebaskan berjilbab. Padahal itu merupakan hak muslimah untuk taat kepada Rabb-nya. Ironi.

Di Indonesia, yang mayoritas penduduknya muslim, jilbab sudah menjadi pemandangan biasa. Namun anehnya, masih juga ada yang berani mengusik. Terbaru, datang dari Human Rights Watch (HRW) yang melontarkan tudingan, bahwa Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Daerah Istimewa Aceh tentang Pelarangan Khalwat dan Kewajiban Mengenakan Pakaian Muslimah bagi warga Muslim di Aceh merupakan aturan yang melanggar HAM. HRW pun mengopinikan agar perda itu dicabut atau diamandemen.
Kebebasan Hakiki

Di Indonesia, jilbab sudah menjadi pemandangan biasa. Bukan semata-mata sebagai negara berpenduduk muslim terbesar bila jilbab begitu mudah dikenakan di negeri ini, lebih karena meningkatnya kesadaran kaum muslimah akan ketakwaan.

Jilbab adalah identitas kebanggaan muslimah shalehah. Mereka yang istiqomah mengenakan pakaian takwa ini, bebas beraktivitas di ruang publik tanpa halangan. Belanja, ke salon, tamasya, kuliah, bekerja dan bahkan berenang tetap bisa dilakukan. Termasuk menyopir mobil sendiri atau mengendarai motor, sudah biasa dilakukan muslimah berjilbab.

Perempuan berjilbab inipun berasal dari berbagai kalangan dan profesi. Bahkan di antara mereka, banyak yang bergelar doktor, dokter, pakar, insinyur, dan gelar akademik membanggakan lainnya. Mereka golongan cendekia yang cerdas, kritis dan kiprahnya diakui bermanfaat di tengah-tengah masyarakat.

Mereka bukan perempuan kolot dan bodoh, yang terpaksa menyembunyikan keindahan tubuhnya karena dominasi laki-laki, sebagaimana tudingan Barat. Mereka tidak merasa terbelenggu dengan berjilbab. Justru, mereka bangga dengan jilbabnya.

Jilbab merupakan lambang “kebebasan” hakiki seorang perempuan. Ya, dengan jilbab, perempuan tidak dipusingkan oleh urusan penampilan. Sebab, jilbab bisa dikenakan kapan sana dan di mana saja, setiap waktu dan dalam setiap kesempatan. Tidak lekang oleh zaman. Tidak usang oleh perkembangan mode. Dengan jilbab, tidak ada istilah saltum alias salah kostum, karena jilbab bersifat universal.

Berbeda dengan pakaian ala Barat, serba beda dalam setiap suasana. Pakaian pesta, santai, jalan-jalan dan bahkan tidur harus berbeda. Tanpa jilbab, justru kaum perempuan “terpenjara” oleh trend fashion yang selalu berubah dengan cepat.

Demi predikat fashionable, perempuan umumnya harus selalu mengikuti trend. Perempuan seperti ini membelanjakan sebagian besar isi dompetnya untuk membeli baju model terbaru, kosmetik, pewangi dan aksesoris lainnya. Mereka juga menghabiskan sebagian umurnya di depan cermin demi sebuah predikat: cantik.

Tak cukup itu, perempuan yang mengklaim modern dan trendy ini selalu sibuk memikirkan pendapat orang lain. Apakah orang suka dengan penampilanku, akankah pujian atau celaan yang akan kuterima, apakah aku cantik dan serasi atau tidak. Inilah tembok penjara kapitalis yang hakikatnya justru mengungkung kaum perempuan. Kelihatannya mereka bebas berkeliaran di ruang publik dengan busana apapun yang mereka mau, tapi sesungguhnya pola pikirnya dijajah streotype “cantik” oleh industri kecantikan yang jahat.

Pembangun Peradaban

Terlepas dari fenomena di atas, kita harus mengakui kontribusi perempuan berjilbab di seluruh dunia. Merekalah peletak dasar lahirnya generasi dan pembangun peradaban.

Bila perempuan berpenampilan serba terbuka ala Barat lebih banyak menjadi gula-gula dalam peradaban sekuler, perempuan muslimah yang menjaga kehormatannya memiliki peran sentral bagi kemajuan bangsanya. Ialah pelahir generasi penerus, pendidik utama dan pertama anak-anaknya.

Bila perempuan ala Barat yang berkiprah di publik, lebih mengandalkan kemolekan tubuh dan kecantikan rupanya; perempuan muslimah berkiprah memberi maslahat umat bermodal kecerdasan dan keterampilannya. Sebagaimana ketika baginda Rasulullah SAW berhasil menancapkan dahwah dan jihadnya, disupport penuh ibunda Siti Khadijah.

Begitu pula Nur Jehan, yang namanya diabadikan dengan bangunan Taj Mahal di India sebagai bukti kecintaan rakyat atas kiprahnya. Juga ibunda Imam Syafi’i, yang menjadi pendidik utama hingga ulama besar itu menjadi ‘orang.’ Belum lagi para syahidah, pejuang Islam yang menggoreskan tinta emas dalam sejarah panjang peradaban dunia.

Timbangan Syariat

Berbicara soal jilbab, Islam memang sudah mengaturnya dengan jelas. Kaum perempuan wajib mengenakannya tanpa reserve. Karena itu, larangan jilbab tak akan menyurutkan niat para muslimah shalehah itu untuk mengenakannya. Mereka jauh lebih takut kepada Allah SWT dibanding takut kepada penguasa laknatullah.

Bagaimana kaum muslimah bisa seteguh itu memegang prinsipnya? Ini karena Islam sudah mengatur, bahwa pakaian bukan sekadar penutup malu, lambang kepribadian atau pemanis penampilan. Pakaian adalah identitas ketakwaan. Karena itu, pakaian sudah didesain Allah SWT sebagai panduan bagi mereka yang mengaku bertakwa.

Bagi muslimah, kewajiban berpakaian takwa dimulai dari kewajiban menutup aurat. Jumhur ulama tidak berbeda mengenai status hukum, bahwa hukum menutup aurat adalah wajib, dimana batasan aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Sabda Rasulullah SAW:

“Tidak dibenarkan bagi seorang wanita yang percaya kepada Allah dan hari kemudian untuk menampakkan kedua tangannya kecuali sampai di sini (nabi kemudian memegang setengah dari tangannya)” (HR ath Thabari).

Nah, untuk menutup tubuh ini, diperintahkan mengenakan jilbab (QS Al Ahzab [33]: 59) dan kerudung/khimar (QS An Nur [24]: 31).

Surat Al Ahzab ayat 59 berbunyi:

يٰأَيُّهَا النَّبِىُّ قُل لِأَزوٰجِكَ وَبَناتِكَ وَنِساءِ المُؤمِنينَ يُدنينَ عَلَيهِنَّ مِن جَلٰبيبِهِنَّ ۚ ذٰلِكَ أَدنىٰ أَن يُعرَفنَ فَلا يُؤذَينَ ۗ وَكانَ اللَّهُ غَفورًا رَحيمًا

Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak diganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Surat An Nur ayat 31

وَقُل لِلمُؤمِنٰتِ يَغضُضنَ مِن أَبصٰرِهِنَّ وَيَحفَظنَ فُروجَهُنَّ وَلا يُبدينَ زينَتَهُنَّ إِلّا ما ظَهَرَ مِنها ۖ وَليَضرِبنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلىٰ جُيوبِهِنَّ ۖ وَلا يُبدينَ زينَتَهُنَّ إِلّا لِبُعولَتِهِنَّ أَو ءابائِهِنَّ أَو ءاباءِ بُعولَتِهِنَّ أَو أَبنائِهِنَّ أَو أَبناءِ بُعولَتِهِنَّ أَو إِخوٰنِهِنَّ أَو بَنى إِخوٰنِهِنَّ أَو بَنى أَخَوٰتِهِنَّ أَو نِسائِهِنَّ أَو ما مَلَكَت أَيمٰنُهُنَّ أَوِ التّٰبِعينَ غَيرِ أُولِى الإِربَةِ مِنَ الرِّجالِ أَوِ الطِّفلِ الَّذينَ لَم يَظهَروا عَلىٰ عَورٰتِ النِّساءِ ۖ وَلا يَضرِبنَ بِأَرجُلِهِنَّ لِيُعلَمَ ما يُخفينَ مِن زينَتِهِنَّ ۚ وَتوبوا إِلَى اللَّهِ جَميعًا أَيُّهَ المُؤمِنونَ لَعَلَّكُم تُفلِحونَ

Artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”

Jilbab adalah pakaian luas semacam baju kurung yang menutupi seluruh tubuh dari leher, dada, tangan sampai kaki dan kerudung untuk menutup kepala, leher sampai dengan dada.

Jilbab merupakan pakaian wanita pada kehidupan umum/keluar rumah: pasar, jalan dsb. Jilbab merupakan pakaian longgar yang menutupi pakaian keseharian wanita di rumah. Hal ini bisa difahami dari hadits Ummu ‘Athiyah ra.

عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا[5]

artinya: dari ummu athiyah berkata: Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami untuk keluar pada hari fithri dan adha, baik gadis yang menginjak akil baligh, wanita-wanita yang sedang haid maupun wanita-wanita pingitan. wanita yang sedang haid tetap meningggalkan shalat, namun mereka dapat menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslim . Aku bertanya, “wahai rasulullah salah seorang diantara kami ada yang tidak memiliki jilbab?” rasulullah saw menjawab: hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya (HR. Muslim).

Makna hadits ini, ada perempuan yang di rumah mengenakan pakaian biasa, tapi tidak punya jilbab untuk keluar rumah. sebab tidak mungkin perempuan itu sama sekali tidak berpakaian di dalam rumahnya. hanya saja, pakaian sehari-harinya di rumah bukan berupa jilbab, sebagai syarat untuk bisa keluar ke ruang publik.